“Bukan iklan, melainkan tetenger!”
“Lu jual mahal, gue tawar; lu jual murah, gue beli; lu kasih gratis, gue terima kasih!” tampaknya menjadi salah satu pedoman Romo Sis ketika harus membeli keperluan sekolah. Kalau ada yang gratis, buat apa beli? Kalau ada yang murah, mengapa beli yang mahal? Barang berkualitas tinggi tak harus mahal. Kalau memang benar-benar mahal, ya jangan ragu-ragu menawar, siapa tahu justru diberikan! Romo Sis juga punya teknik menawar yang luar biasa. Kalau tidak, tak mungkin harga mobil cukup dibayar kurang dari separuh dan keramik berdiskon 70% diperolehnya!
Sebuah pabrik rokok nasional mau menyumbang sejumlah uang dengan satu syarat, yaitu diizinkan memasang logonya pada papan pengumuman yang akan dipasangnya di dalam kompleks sekolah. Romo Sis menegosiasikan syarat itu dan kemudian menentukan tempatnya dan meminta agar setelah dua tahun, logo itu boleh dihapus. Deal. Papan pengumuman yang cantik segera terpasang, dan Romo Sis juga dapat uang. Ada yang berkeberatan? Tak ada yang berani terang-terangan.
Berlagak mewakili ‘suara rakyat’, saya mengatakan kepada Romo Sis bahwa beliau serupa Ali Sadikin yang sukses membangun Jakarta dengan uang pajak dari perjudian yang dihalalkannya. Supaya beliau tidak marah, kisah perbandingan itu harus happy ended. Para pengritik Bang Ali toh akhirnya mengakui kehebatannya. Ketimbang sembunyi-sembunyi hanya karena takut kepada polisi (entah kalau hal itu dilakukan sekarang, ketika semakin banyak bermunculan organisasi polisi preman yang bahkan bisa bikin keder polisi beneran!), lebih gentle terang-terangan dengan komitmen dan konsistensi terhadap tujuan yang baik di sebaliknya.
Dan Romo Sis memang tidak peduli akan komentar miring asal tujuannya pun baik, tulus, tidak asbun dan tanpa alternatif. Pada kenyataannya, logo dan nama perusahaan rokok itu hanya memberitahukan bahwa papan pengumuman itu adalah sumbangan dan tidak serta merta mengesankan sebuah ajakan bagi para warga sekolah untuk merokok. Toh tidak ada gambar rokok atau perokoknya. Dan sebagai perokok pun saya tidak berganti merk karena gambar itu. Pendek kata, saya menganjurkan agar Romo Sis menjawab kritik itu begini: “Itu bukan iklan, melainkan tanda bahwa papan pengumuman itu adalah sumbangan dari sebuah perusahaan rokok. Mana yang lebih baik, perusahaan itu menyumbang papan pengumuman sebagus itu atau satu truk rokok atau sejumlah uang dengan keharusan ini-itu?”
Saya tidak tahu apakah anjuran itu pernah beliau gunakan atau tidak. Bayangkan kalau setiap komentar orang lain dimasukkan dalam hati, maka setiap langkah maju akan sering terhenti. Padahal, yang berkomentar belum tentu masih ingat isi komentarnya lagi setelah beberapa saat mengetahui atau mengalami sendiri kebaikan yang semula dianggapnya buruk.
Belum dua tahun berlalu, saya sudah diminta Romo Sis untuk menghapus logo pabrik rokok di papan pengumuman itu dan menggantinya dengan dua kalimat semboyan yang tepat. Tentu saja saya memilih kalimat yang sering diucapkan Romo Sis untuk menyemangati para warga sekolah.
Perusahaan rokok yang lain bahkan meninggalkan dua arcanya di sekolah setelah mengikuti kegiatan Dempo Fair. Daripada rusak percuma, saya minta agar kedua arca dwarapala itu diletakkan mengapit teras pintu masuk. Romo Sis tidak berkeberatan. Sayang, kedua arca itu dibiarkan merana, tak pernah dicat ulang. Sementara itu, patung dada St.Albertus yang dibangun PPSK di masa lalu pun dibiarkan rusak dan kemudian ditumbangkan, apalagi setelah ada patungnya yang lebih besar dan bagus di tengah taman dalam.
Selalu begitu. Kalau sudah ada yang baru, yang lama tak lagi laku.
Filed under: Uncategorized |