“Menabung untuk masa depan”
Ketika menerima SK pengangkatan saya sebagai pegawai di Dempo, saya diminta untuk menandatangani aplikasi tabungan sebuah bank. Kemudian ketika pembukuan keuangan pun diserahkan sebagai tanggung jawab saya (dengan menolak sekaligus menjadi bendahara karena paham bahwa perangkapan itu salah), saya tahu bahwa setiap guru/ pegawai Dempo memiliki tabungan yang diisi setiap bulan oleh Romo Sis. Bertahun-tahun tidak pernah ada masalah. Tampaknya semua tahu diri bahwa tabungan itu merupakan kehendak baik Romo Sis untuk membantu para guru/ pegawai. Kelak, bila pensiun, para guru/ pegawai akan memiliki sejumlah uang selain uang pensiun bulanan yang menjadi hak mereka.
Saya pernah meminta izin untuk mengambil Rp 50.000,oo saja karena suatu kebutuhan mendesak dan tak mau jadi pengutang. Romo Sis mengatakan: “Uang itu untuk masa depanmu, jangan diambili terus!”
“Baru sekali ini, Romo,” sahut saya.
“Ada sekali biasanya ada dua kali!”
“Kalau nggak boleh ya nggak apa-apa, Romo!” saya mulai ‘panas’.
“Kamu belum punya rumah …”
“Buat apa saya punya rumah? Istri saya sudah punya!”
“Kamu itu, dikasih tahu orangtua kok ngeyel! Kamu ndak malu jadi kepala keluarga tapi tinggal di rumah atas nama istri?”
Skak mat. Saya cep klakep. Tapi diberikannya juga izin untuk mengambil uang dari ‘tabungan saya’ itu.
Kebiasaan baik itu dilanjutkan oleh Romo Michael. Nah, yang lama terpendam akhirnya memberual keluar. Mulai ada tuntutan mengapa mengambil ‘tabungan atas nama sendiri’ kok harus minta izin, mengapa jumlah untuk A sekian sedangkan saya sekian, dan sebagainya. Saya sedih ketika Romo Michael bersikap tak mau repot dan Romo Sis menyerahkan keputusan kepada Romo Michael, penggantinya. Akhirnya, buku tabungan dibagikan sesuai nama masing-masing dan sesudah itu semua dipersilakan mengisi sendiri atau menutup rekeningnya.
Romo Sis hanya bisa bertanya, “Kok begitu sih?” setelah nasi jadi bubur. “Besok akan lebih sulit kalau mau memulainya lagi!”
Filed under: Uncategorized |