• warn risa

    Tautan ke beberapa berkas yang terlampir di sini - untuk sementara - dinonaktifkan. Harap maklum.

  • Asih-Asah-Asuh

    hallo

    The meaningful life can result only from the experience of love and this implies commitment and dedication to another.

    We are each gifted with an enormous but unique potential. However, in our rendezvous with destiny, we have to take chances, run risks, get rejected and be hurt, be knock down and get back up on our feet.

    The only real failure is the one from which we learn nothing.

    Goodfinders are those who look for and find what is good in themselves, in others, and in all situations of life.

    Love person, use things! This is the truth that will set us free.

  • "Anda belum hidup sukses hari ini kecuali telah melakukan sesuatu bagi seseorang yang takkan pernah dapat membalas budi Anda." (John Bunyan)

  • Arsip

  • Kategori

  • Ublemkalen

    November 2008
    S S R K J S M
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
  • Ublemeta

  • Ublemstat

    • 2.386.517 klik
  • Since 2009

    free counters

Prinsip Hidup

maslowAbraham Maslow (1970) pada artikel “A Theory of Human Motivation” dalam buku Motivation and Personality telah menyusun tujuan-tujuan hidup dan kebutuhan-kebutuhan manusiawi kita dalam sebuah tangga hirarkis. Anak tangga terbawah adalah dorongan-dorongan biologis manusia, yaitu kebutuhan akan sandang-pangan-papan, juga seks dan sebagainya. Di atasnya ada kebutuhan dan tujuan manusiawi berikutnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, perasaan memiliki dan dimiliki, cinta dan citra yang baik. Di puncak tangga, Maslow meletakkan aspirasi tertinggi manusia: kebebasan dan kesempurnaan. Ia menamainya self-actualization. Barangkali kita takkan pernah mencapai puncak tangga itu, tetapi sesungguhnya hal itulah yang membuat kita terus berjuang. Sesuatu yang kita inginkan selalu akan menggoda hasrat selama kita belum berhasil memilikinya.

P. Clayton Alderfer (1982) meringkas teori Maslow itu menjadi hanya tiga tahap kebutuhan, yaitu:

  • Keadaan nyata (Existence), mencakup kebutuhan biologis  dan kebutuhan akan rasa aman;
  • Kesinambungan (Relatedness), menggabungkan sebagian kebutuhan akan rasa aman dengan kebutuhan untuk diterima dan diakui serta kebutuhan akan citra yang baik;
  • Peningkatan (Growth), menggabungkan sebagian dari kebutuhan untuk memiliki citra yang baik dengan kebutuhan untuk memperoleh citra yang lebih baik lagi.

Socrates mengatakan, hidup yang tak pernah teruji bukanlah kehidupan yang bermakna. Cepat atau lambat kita akan selalu bertanya kepada diri sendiri: Aku hidup … untuk apa? Ini pertanyaan penting yang kadang-kadang bisa menyakitkan, namun tetap harus kita tanyakan dan jawab. Ketika menanyakannya kepada diri sendiri, umumnya urusan kenikmatan jasmani kitalah yang memengaruhi jawaban kita. Kepala kita menyimpan banyak sekali jawaban ideal dan mudah kita ucapkan semudah menekan tombol yang benar, tetapi benarkah jawaban-jawaban ideal itulah yang sedang kita perjuangkan dalam keseharian hidup kita?

Dag Hammarskjold suatu ketika mengatakan bahwa perjalanan terpanjang adalah perjalanan menyusuri kedalaman diri kita sendiri. Carl Jung, psikiatris pembaruan diri itu menulis dalam buku Memories, Dreams, Reflections: “Wherever there is a reaching down into innermost experience, into the nucleus of personality, most people are overcome by fright, and many run away … The risk of inner experience, the adventure of the spirit, is in any case, alien to most human beings.”

Jadi, untuk apa hidup ini sesungguhnya? Untuk menemukan jawabannya, barangkali ada baiknya bila kita meluangkan waktu sejenak untuk mengikuti anjuran John Powell, S.J. (1995): menuliskan hal-hal yang sudah menjadi pengalaman hidup kita. Tulislah daftar keberhasilan maupun kegagalan, airmata maupun canda tawa dalam hidup kita di masa lampau hingga yang baru saja terjadi, keterpurukan dan kepuasan yang pernah kita alami. Lengkapilah catatan itu dengan jenis kesenangan, kekuasaan atau kekuatan yang kita dambakan, jumlah uang yang kita inginkan menjadi kekayaan kita, tingkat kemasyhuran yang kita ingin raih, hubungan dengan sesama yang kita ingin jalin. Kemudian,  tanyakan kepada diri sendiri: hidup yang bagaimanakah yang kita inginkan? Di antara semua itu, manakah yang sungguh-sungguh menjadi harapan kita saat ini dan akan datang?

Cara lain, mungkin baik juga membayangkan suatu hari dalam perjalanan hidup yang kita anggap sempurna, atau membuat daftar sepuluh kegiatan yang paling kita sukai. Ketika merefleksikannya, kita mungkin menemukan satu atau dua kebutuhan dan atau hasrat kita dalam perspektif yang lebih jelas. Misalnya, jika kita menemukan bahwa dalam hari yang menurut kita sempurna atau di antara sepuluh kegiatan yang sangat kita sukai itu adalah ketika kita sendirian, mungkin kita telah menggali dan menemukan yang kita perlukan itu: di relung terdalam diri kita, terpendam hasrat untuk menyendiri atau bahkan penolakan terhadap suatu hubungan yang nyata ada di depan mata kita.

Semestinya kita membuka diri kita terhadap pertanyaan ini: Aku hidup untuk apa? Kita hampir selalu bergegas dalam keseharian hidup kita. Apa yang kulakukan? Apakah hidupku serupa rangkaian kegiatan terjadwal atau amburadul, aneka rapat, membereskan meja kerjaku, menjawab telepon, bergerak dari satu krisis ke krisis berikutnya? Sempatkah aku memikirkan sebuah rencana untuk minggu depan? Tahun depan? Atau sekadar mengikuti arus? Ketika bangun pagi, apakah aku ingat menyapa dan bersyukur kepada Tuhan? Apakah aku merasa seperti sedang mengikuti sebuah kontes perjuangan hidup? Apakah aku merasa terjebak dalam hidup yang ruwet? Atau hidup hanya kujalani seperti air sungai mengalir dari hulu ke muara? Apakah aku pernah bertanya: Seberapa lama aku dapat bertahan seperti ini?

Beberapa di antara kita takut – seperti dikatakan Carl Jung – untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu karena jawaban-jawabannya mungkin saja samar-samar. Kita justru lebih sering mengharapkan orang lain – yang sesungguhnya tidak benar-benar mengerti kebutuhan kita – akan memberikan jawaban dengan nasihat-nasihatnya. Tentu saja, nasihat orang lain mungkin merupakan jawaban terhadap pertanyaan kita, tetapi pastilah lebih realistis dan penting untuk mengubah diri kita dengan jawaban kita sendiri.

Makna Prinsip Hidup

Prinsip hidup adalah hal terpenting yang pada umumnya kita inginkan terlaksana ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam situasi tertentu. Misalnya, kalau salah satu prinsip hidup kita adalah “Setiap manusia harus disayangi, tetapi kejahatannya harus ditolak!” maka ketika kita dihadapkan pada situasi semacam itu, prinsip hidup kita itu akan mengarahkan kita pada keputusan untuk tetap berusaha menyayangi orang yang telah berbuat jahat dan berusaha membantunya keluar dari kejahatannya itu.

Semestinya setiap orang memiliki prinsip hidupnya sendiri. Mungkin sukar menyebutkan salah satu yang paling dominan karena prinsip itu umumnya hanya tampak ketika dihadapkan pada ujian. Tetapi, semestinya ada di dalam diri kita masing-masing, bertaut dengan aneka kebutuhan, tujuan atau nilai-nilai yang bertumbuh kembang di dalam diri kita. Dalam liku-liku hidup kita, prinsip itu serupa penggalan musik yang senantiasa kita dengar kendati situasi yang kita hadapi bisa saja berbeda. Maka, hanya kita sendirilah yang bisa menjawab pertanyaan ini: Apakah prinsip hidupku?

Sekadar contoh, mungkin ada orang yang memandang keamanan adalah di atas segala-galanya. Ia menolak datang ke semua tempat yang berbahaya, kendati bahaya itu bisa hadir di mana-mana. Ia tak mau mengambil risiko, berjudi dengan maut. Lebih baik di rumah saja di malam hari dan jangan ada tamu datang tanpa diundang. Lebih baik aman di rumah daripada menyesal kemudian. Hal serupa bisa diurai pada diri orang yang perhatian utama dan prinsip hidupnya adalah pekerjaan, tugas, pengakuan, uang, kemasyhuran, kebutuhan tertentu, keberhasilan, bersenang-senang, hubungan, diterima orang lain, kekuasaan dan lain-lain.

Memiliki sebuah prinsip hidup adalah masalah psikologi dan terkait pula dengan ekonomi. Prinsip hidup membimbing pemiliknya untuk lebih mudah menentukan pilihan. Orang yang berprinsip hidup kesenangan, misalnya, jika mendapatkan dua undangan pada saat yang sama, akan bertanya kepada dirinya sendiri: Di manakah aku akan lebih senang? Secara ekonomis, prinsip hidup telah menunjukkan pilihan dalam situasi yang sulit dan itu adalah efisiensi.

Nah, apakah Anda menyadari prinsip hidup Anda berlandasan pandangan Sigmund Freud (prinsip kesenangan), Alfred Adler (prinsip kekuasaan/ kekuatan, prestasi) atau B.F. Skinner (prinsip kebebasan dan tanggung jawab), atau gabungannya, atau yang lain … dan mungkin justru nilai-nilai keagamaan yang Anda anut? Atau prinsip hidup itu berubah – dalam arti menjadi lebih mantap dan sempurna – sesuai dengan tahap pencapaian kebutuhan hidup Anda menurut Maslow atau Alderfer? Apa pun, semoga prinsip itu menjadikan hidup Anda semakin positif bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar Anda!

Tinggalkan komentar