Iya. Benar. Saya mencintai Megawati Soekarnoputri. Megawati plus-minus saya cintai sejak ia berpolitik praktis hingga sekarang. Ketika ia diserang karena ‘hanya’ seorang perempuan, ibu rumah tangga, dsb. saya terheran-heran pada sebagian elit bangsa ini. Ketika dua kali pilpres ia kalah namun tidak patah arang berjuang di luar pemerintahan, saya memuji semangat, ketegasan dan ketahanannya. Bukan hal yang mudah dilakukan setiap orang untuk bertahan pada keyakinannya ketika sebagian orang-orang terdekat dan pilihannya pergi dan atau berseberangan dengannya.
Seperti dikatakannya sendiri, menjadi presiden itu mudah. Tapi, dalam konteks kita saat ini, apa gunanya presiden tanpa kepemimpinan? Perjuangan Bung Karno sejak muda menempanya jadi pemimpin, baru kemudian jadi presiden. Ia bukan pemimpin ex officio karena pendidikan khusus, uang, apalagi karena terjadinya ‘kecelakaan sejarah’. Begitu pula proses yang relatif lebih singkat dialami Megawati. Maka, ketika ia menyerahkan mandat pencapresan partainya kepada Jokowi, saya makin meyakini kenegarawanannya. Tugas seorang pemimpin sejatinya melahirkan pemimpin baru yang lebih baik, bahkan daripada dirinya sendiri!
Ketika sekarang, banyak yang menyerang kebijakan Megawati saat menjabat presiden, saya salut karena ia berpendirian seteguh kebajikan Bung Karno: tidak mengumbar kesalahan orang lain. Ia bahkan tak segan mengakui kesalahan yang ditimpakan orang lain ke pundaknya sendiri. Tidak setiap orang bisa tetap bungkam mendengarkan ketika orang lain – yang tahu hanya sedikit dan yang sama sekali tidak tahu – sibuk menuding sambil mencuci tangan, melakukannya demi kebenaran dari sudut pandang masing-masing atau yang sekadar belajar menikmati kebebasan berbicara hingga yang sekadar hendak meraih pujian kosong atau demi menerima bayaran atas kengawurannya.
Saya semakin menghormati kepribadian Megawati ketika justru ialah yang tegas meminta agar hujatan kepada Pak Harto dihentikan dan tidak mau menjawab pertanyaan pancingan untuk menjelekkan orang lain dalam kontestasi capres yang penuh intrik, black campaign bahkan black magic …. 🙂
Kalau sekarang Jokowi yang dijadikan public enemy (public = yang merasa akan merugi jika Jokowi jadi presiden), diejek berwajah dan penampilan ndeso, tak punya presidential look, tak berkompetensi presidensial (lha presiden-presiden sebelumnya bagaimana?), dst. hingga disindir seperti boneka, saya pikir sikap dan cara Jokowi menghadapinya malah bikin para penyerangnya makin geregetan sendiri. Yang ingin membela hendaklah belajar darinya, dan yang bernafsu menyerang hendaklah berani bersikap apa adanya, bukan ada apanya!
Saya – bukan kader partai apa pun – mencintai Megawati? Iya! Lebih dari tetek bengek alasan romantik, saya mencintainya karena ia mencintai negara-bangsa ini lebih dari kepentingan dan mungkin – seperti Bung Karno – juga nyawanya sendiri. Semoga Pemilu tahun ini menghasilkan penyelenggara negara-bangsa yang lebih baik. Jika tidak, sia-sialah kesabaran kita.
Merdeka!
Filed under: Citra Serbaneka | Tagged: Bung Karno, Ir. Joko Widodo, Jokowi, Megawati Soekarnoputri, Pilpres 2014 |
Tinggalkan komentar