Buku Langka = Mahal
Bermula dari seorang kenalan yang titip: minta dicarikan buku-buku kejawen. Dalam perjalanan ke Jogja, dengan ‘rekomendasi’ yang saya peroleh, saya mampir ke kios-kios buku bekas di belakang Sriwedari (Teposanan, Jalan Kebangkitan Nasional), Solo. Setelah bertanya ke beberapa kios, akhirnya ada yang menawarkan beberapa judul buku. Si pemilik kios mengejutkan saya ketika memberikan selembar ‘katalog’ koleksinya. Harga buku-buku (sebagian besar hanya fotokopi) yang tercantum di dalamnya … ratusan ribu hingga jutaan rupiah! Saya kontan menyesal karena tidak memelihara dengan baik koleksi buku-buku lawas yang saya warisi dan atau meminjamkan buku-buku itu kepada teman yang kemudian lupa mengembalikan.
Beberapa judul yang ditawarkan oleh si pemilik kios pun hanya tersedia dalam bentuk fotokopi. Tampaknya ia sangat memahami bahwa saya memerlukan beberapa naskah fotokopinya. Maka, untuk fotokopi dari fotokopi (entah yang keberapa kali) lima serat (surat) yang saya pilih, saya harus membayar masing-masing Rp 30.000,00 Padahal harga wajar kelima naskah fotokopi terjilid itu hanya sekitar Rp 35.000,00 Tapi ya sudahlah … saya mengalah karena menyadari posisi saya dan karena ingin menyenangkan teman di saat krisis begini. 🙂
‘Dalam rangka’ menyenangkan orang lain itulah, saya mengutip Serat Wedatama dari buku Menyingkap Serat Wedotomo karangan Almarhum Anjar Any (1984, Penerbit Aneka Ilmu Semarang) yang kebetulan masih jadi koleksi saya, untuk pengunjung blog ini juga. Selain itu, saya sendiri kadang-kadang memerlukannya. Ketimbang membawa-bawa buku itu ke sana ke mari dengan risiko dipinjam kemudian dilupakan, ada baiknya transkrip serat itu saya unggah di sini. Toh, salah satu fungsi blog ini adalah sebagai sarana ‘dokumentasi berjalan’.
Maka, kalau Anda menginginkannya, jangan ragu mengunduh teks lengkap Wedatama (dalam format PDF, 12 halaman A4, lengkap dengan terjemahan Bahasa Indonesia yang saya olahulang di sana-sini) secara gratis atau disertai sumbangan plus hadiah … boleh saja! 🙂
Seperti selalu saya katakan, saya maklum, kita jarang mengucapkan ‘terima kasih’ dan ‘maaf’, jadi saya juga maklum saja bila canda ini pun tak digubris. Semoga tidak ada yang marah naskah ‘mahal’ ini digratiskan bagi blogger atau searcher yang suka mengunduh gratisan dalam diam. Bila ada, maafkanlah. Dan atas maaf itu, terima kasih.
Tampaknya saya tak perlu mengingatkan lagi untuk merawat dengan baik koleksi buku yang bernilai tinggi karena langkanya. Dengan pertimbangan ekonomis, jarang ada penerbit yang mau mencetakulang naskah-naskah itu karena peminatnya tergolong sedikit … dan makin sedikit … Tapi tetap ada. Mereka yang berminat membaca atau bahkan mendalaminya akan mencari naskah-naskah langka itu. Mahal? Ah, itu relatif! Maka, kalau Anda tak punya tempat lagi untuk menyimpan buku-buku lawas koleksi Anda, jangan ragu memberikannya kepada saya. 🙂
Serat Wedatama
Tidak ada yang tahu pasti kapan dan oleh siapa sesungguhnya Serat Wedatama ditulis, karena tidak seperti lazimnya serat para pujangga Jawa yang menyertakan candra sengkala (menunjukkan waktu penulisan/ pembuatan) dan atau sandi asma (menunjukkan jatidiri penulis/ pembuat). Anjar Any memperkirakan Serat Wedatama ditulis dalam masa berkuasanya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV, yaitu antara tahun 1853 sampai dengan 1881.
Ada yang mengatakan Serat Wedatama bukan ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV, melainkan oleh R.M.Ng. Wiryokusumo, seorang bangsawan yang menjabat Mantri Langenpraja di Mangkunegaran, salah seorang murid beliau. Ada pula yang mengira serat ini ditulis oleh R.Ng. Ranggawarsita, pujangga yang juga hidup semasa dengan KGPAA Mangkunegara IV berkuasa dan bersahabat pula dengannya. Yang lain lagi menyatakan bahwa serat itu ditulis oleh suatu tim penulis yang dipimpin oleh Raden Tumenggung Padmodipuro, bangsawan Mangkunegaran yang kemudian menjadi pegawai di Kasunanan Surakarta.
Agaknya, perdebatan siapa penulisnya bukanlah hal penting. Terlebih-lebih karena Serat Wedatama tampaknya memang sengaja ditulis tanpa candra sengkala dan sandi asma. Hal ini menunjukkan bahwa penulisnya pun tidak menganggap penting untuk memberitahukan jatidirinya di dalam karyanya yang sangat indah itu. Yang terpenting adalah falsafah yang terkandung di dalamnya. Namun dari bait 26-29 serat itu bisa diperkirakan bahwa penembang awalnya (Serat Wedatama berisi lima pupuh: Pangkur, Sinom, Pucung, Gambuh, Kinanti) adalah seorang bangsawan yang sedang menasihati anak(-anaknya) dan atau murid(-muridnya).
Selain tentang tahun penulisan dan siapa penulisnya, Serat Wedatama juga menyimpan teka-teki tentang jumlah bait tembang di dalamnya. Anjar Any berkesimpulan bahwa Serat Wedatama yang asli terdiri dari 72 bait, dan 18 bait lainnya adalah tambahan yang juga tak diketahui pasti siapa penulisnya. Orang yang sama atau berbeda?
Falsafah Serat Wedatama
Wedatama (weda : ilmu, pengetahuan; tama : utama, baik) berarti ilmu atau pengetahuan tentang kebaikan. Keindahan cengkok serat ini – seperti juga serat-serat lainnya – dapat dimaklumi karena Serat Wedatama adalah nyanyian/ kidung macapat yang tentu sangat memerhatikan keindahan ‘bunyi’ syair dalam harmonisasi musikalitas.
Serat Wedatama mengandung ajaran moral (piwulang) tentang berbagai hal kehidupan. Anjar Any bahkan membandingkan ajaran moral dalam serat ini dengan etika yang diajarkan Aristoteles (384-322 SM). Bila Aristoteles menyatakan bahwa untuk berbuat baik manusia tidak hanya perlu tahu soal kebaikan tetapi juga harus menjalankan kebajikan itu sendiri, maka penulis Wedatama pun menegaskan dalam awal bait Pucung demikian: “Ngelmu iku kalakone kanthi laku …” Muara ilmu dan pengetahuan tentang kebaikan adalah perbuatan. Tanpa pengamalan, ilmu takkan bermakna, sekadar teori belaka.
Hal Ketuhanan yang mahaesa, kebijaksanaan tata pergaulan, ajaran tentang jiwa satria, penghormatan terhadap pendapat orang lain, perjuangan untuk dan dalam hidup yang terkandung dalam serat ini (beserta keindahan sastranya) terlalu berharga untuk diabaikan. Karena keterpesonaan saya pada keindahan dan kebenaran ajaran moral yang terkandung di dalamnya, saya tidak merasa memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengulasnya sebagian apalagi seluruhnya.
Lebih baik saya sekadar mengajak Anda untuk membacanya sendiri, mempelajarinya dan … berusaha mengamalkannya dalam keseharian hidup dan kebersamaan kita! Apalagi, dalam beberapa bait, penulis Serat Wedatama juga menyindir perilaku sebagian kita yang berlagak pandai tapi serupa tong kosong, nyaring bunyinya; berlagak paling benar, paling suci, agamis … dan meremehkan orang lain, dan seterusnya. Baca sendiri saja deh … 🙂
Oh ya … kiranya harus diakui pula bahwa orang asing justru lebih peduli terhadap kekayaan budaya bangsa kita daripada sebagian kita sendiri terhadapnya. Sangat menarik bahwa para sarjana asinglah yang ‘mengenalkan’ kekayaan bangsa kita itu kepada kita. Demikian pula patut dihargai upaya penulis angkatan tua yang banyak melatinkan karya-karya pujangga Surakarta, Mangkunegaran maupun Jogjakarta.
Maka, sekali lagi, karena pengalaman di Solo itulah saya akan mencicil mengunggah beberapa serat lain setelah menjadikan Serat Wedatama ini yang pertama terunggah di sini. Kalau ada kakak atau adik yang tertarik atau Paklik/ Pakde/ Mbah Kakung atau Bulik/ Bude/ Mbah Putri yang ingin bernostalgia dengan cengkok indahnya beserta ajaran-ajaran moralnya yang tak lekang dimakan zaman, saya merasa sudah mendapat upah jerih payah saya yang tak seberapa dibandingkan dengan kebesaran hati para penulis serat yang telah mewariskan keindahan seni, budaya dan ajaran moral yang adiluhung … dan kita abaikan! Dan belajar dari pengalaman orang lain maupun diri sendiri, saya takkan heran bila yang tertarik mengunduhnya justru orang asing.
Akhirnya saya juga menganjurkan agar karya sastra ini dinikmati dengan hati tenang dan tidak gampang memetik sebagian saja kemudian menafsirkannya sebarangan sebagaimana biasa dilakukan sebagian orang. Kendati tak menganggap serat ini suci, tak sepintas pun terpikir oleh saya bahwa penulis Wedatama meremehkan siapa pun yang disindirnya halus maupun terang-terangan namun tetap enak dibaca/ didengar dalam bait-bait nasihatnya. Kalau ia melakukannya, tentu ia tidak menulis Wedatama dan mengajarkannya! Tahap-tahap kebajikan disusunnya secara mengalir untuk memudahkan pemahaman pembaca/ pendengarnya agar tak tergesa-gesa meraup semua pengetahuan (karena keterbatasan akal manusia) atau sebaliknya sekadar berlaku nempil sedikit pengetahuan dan merasa sudah menggenggam kebenaran.
Namun, tentu saja setiap orang boleh punya pandangan berbeda – sebagaimana diajarkan pula oleh penyair Wedatama. Dan terhadap perbedaan pendapat, ia menganjurkan kesabaran, rela dianggap bodoh, menghindari angkara murka dan tetap berusaha menyenangkan sesamanya. Dalem … 🙂
Filed under: Citra Ngelmu | Tagged: ajaran moral, gambuh, kidung, kinanti, macapat, Mangkunegara IV, pangkur, pucung, pupuh, serat, sinom, tembang, Wedatama |
Ketulusan itu bening. pasti ada ganjarannya terima kasih
Mas Ruhcitra YTH,
Sebelumnya salam kenal dari saya. Saya kepengen ngunduh serat wedhatama + terjemahannya dalam bahasa indonesia, tetapi kok tidak ada filenya ya… (saya sudah coba beberapa kali). Mohon soft copy serat wedhatama dapat dikirim ke address email saya.
Mohon maaf sudah ngrepoti panjenengan.
Nuwun,
Agung
Matur sembah nuwun mas Ruhcitra, file wedhatama sampun kula unduh.. keleresan kala jumat kepengker kula sowan wonten astana giri layu pesareanipun beliau.
Sepindah malih matur sembah nuwun.
Salam Sejati,
Agung
salam karaharjan,
bilih wonten serat wedatama ingkang file mp3 menika dipun unduh wonten pundi?? matur sembah nuwun ingkang sanget
rahayu
Yth mas Ruhcitra,
nyuwun ijin , kawulo ngunduh serat wedatama ni pun, raosipun kok mantep dumateng manah kulo, mugi Gusti paring karaharyan dumateng panjenengan sak keluargo.
maturnuwun dimas..
Matur sembah nuwun dumateng Mas Ruhcitra, ingkang sampun kersa paring idin ngunduh serat punika mugi migunani tumrap gesang kula, lan keikhalasan panjenengan tansah ginanjar saking Gusti Kang Maha Wikan,,,,
Salam Karaharjan..
Saya wajib mengucapkan terima kasih kepada pemilik blog ini, meski saya belum mampu memberikan donasi (hehehe).
Saya hanya mengomentari kemungkinan tentang penulisnya. Adanya anggapan Ronggowarsito yang menulis, menurut saya MUNGKIN bukan beliau penulisnya. Saya berpijak dari serat Jayabaya “anggitanipun RM Ronggowarsito” di mana beliau justru menyampaikan hal yang bertentangan secara politis dengan apa yang ditampilkan wedhatama.
Jelas wedhatama di”anggit” untuk mengingatkan putra-putra jawa agar berhati-hati dengan ajaran baru (tersebut dalam pupuh pucung) yang meremehkan ajaran jawa. Dan dalam bagian pupuh tersebut jelas-jelas menyebut identitas santri kidulan yang tinggal di daerah Pacitan ke arah timur (notabene guru dari RM. R)
Sedangkan RM Ronggowarsito justru berstatement kebalikannya. Beliau menggambarkan pada saat balatentara dari rum datang, jawa dihuni oleh jin, setan brekesetan. Itu jelas menafikkan kemajuan budaya yang dicapai oleh jaman sebelum Demak (majapahit dan sebelumnya)
Saya tidak bermaksud sara, tapi mencoba melihat dari sudut pandang para “penganggit”. Tapi saya salut kepada para pujangga tersebut termasuk RM Ronggowarsito, merupakan perawi hebat sepanjang masa dan belum ada tandingannya hingga saat ini
makasih ya…semoga Tuhan membalas kebaikan anda karena sudah berbagi warisan leluhur ini..sekali lagi makasih
ohh iya..BTW, saya bukan orang asing..salam dari lamongan.
Monggo.. 🙂
http://ki-demang.com/lelagon/index.php/video-serat-wedhatama/449-serat-wedhatama-01
Mantep sanget!